Kereta Commuter, Bebas Macet: Pengalaman Mobilitas Kota Depok-Bogor

by -di lihat 65 kali
Kereta Commuter, Bebas Macet: Pengalaman Mobilitas Kota Depok-Bogor

BOGORMEDIA – Pagi di jalan Depok–Bogor selalu dimulai dengan campuran suara khas perkotaan: bunyi mesin, klakson yang saling bersahut, serta asap yang bergerak di angkasa. Kendaraan pribadi, angkot, dan bus saling berebut ruang di jalan yang terasa semakin sempit. Sore hari pun tidak jauh berbeda—hanya arahnya berlawanan, tetapi sama-sama macet dan melelahkan.

Jika ada cara yang lebih cepat, lebih hemat, dan lebih nyaman… mengapa harus terjebak dalam kemacetan jalan?

Saya telah berusia 28 tahun menjadi penumpang kereta—istilah untuk orang-orang yang menjadikan KRL sebagai teman perjalanan setiap hari. Dari kursi kelas ekonomi, kipas angin di atap gerbong, hingga Commuter Line yang dilengkapi AC dan berjadwal rapi, saya ikut menyaksikan perubahan besar di atas rel. Meskipun sejak bekerja di luar Pulau Jawa kebiasaan naik kereta tidak lagi saya lakukan setiap hari, rasa “pulang” tetap muncul setiap kali kaki menyentuh peron dan suara khas roda besi terdengar di telinga.

Masa Lalu — Pilihan Alat Transportasi Mahasiswa Depok–Bogor

Di masa awal kuliah, pilihan transportasi terasa seperti ujian kesabaran. Pilihan pertama: Kopaja atau angkot. Harganya memang terjangkau bagi mahasiswa, tetapi imbalannya adalah perjalanan yang panjang penuh dengan drama—macet dalam waktu lama, panas, debu, dan terkadang penumpang harus duduk berdesak-desakan sambil memegang tas erat-erat.

Opsi kedua: kereta. Harganya hampir sama dengan angkot, tetapi waktu perjalanan jauh lebih cepat. Kekurangannya? Kenyamanan masih tergolong biasa saja. Tiket kertas harus dipesan langsung di loket, antreannya bisa sangat panjang. Jika tiba sedikit terlambat, bersiaplah untuk berdiri sepanjang perjalanan sambil bergoyang mengikuti gerakan rel.

Baca Juga:  Ratusan Sopir Bus Blokade Flyover, Lalu Lintas Macet Total

Meskipun demikian, bagi saya yang setiap hari melakukan perjalanan dari Depok ke Bogor, kereta selalu menjadi pilihan utama. Waktu yang hemat bisa digunakan untuk membaca buku kuliah, mengulang catatan, atau sekadar menutup mata sebelum perkuliahan dimulai. Dan jujur, ada rasa puas tersendiri ketika bisa keluar dari stasiun lebih cepat dibanding teman-teman yang masih terjebak dalam kemacetan jalan.

Transformasi Commuter Line

Perjalanan bertahun-tahun di atas rel membuat saya menjadi saksi langsung perubahan besar pada KRL di Jabodetabek. Dulu, gerbong dengan warna memudar dan kursi yang biasa saja. AC? Hanya kipas angin yang berputar pelan di langit-langit, cukup untuk mengusir panas secara terbatas.

Kemudian datang masa Commuter Line—kereta dengan AC, pintu otomatis, dan interior yang rapi. Sistem pembayaran mengalami perubahan total. Dari tiket kertas yang rentan basah akibat hujan atau terkena keringat di saku, berubah menjadi kartu elektronik yang cukup ditempelkan di gerbang masuk.

Perubahan ini tidak hanya berkaitan dengan bentuk kereta, tetapi juga pola kehidupan para penumpang. Jadwal yang lebih akurat, waktu menunggu yang lebih singkat, serta kepadatan yang lebih teratur.

Bagi saya, perubahan ini seperti naik kelas: dari sekadar alat transportasi, kereta menjadi lambang kebebasan mobilitas perkotaan—bebas dari kemacetan, bebas dari jadwal yang tidak teratur, dan bebas dari biaya transportasi yang sangat mahal.

Kemerdekaan dari Kemacetan, Kemerdekaan di Dompet

Rute Depok–Bogor pada jam sibuk seperti jalur kesabaran tanpa batas akhir. Naik angkot atau bus berarti siap menghabiskan waktu 1,5 hingga 2 jam di jalan, bahkan bisa lebih jika terjadi hujan atau ada perbaikan jalan. Bandingkan dengan KRL yang biasanya hanya membutuhkan 40–50 menit untuk menempuh jarak yang sama.

Baca Juga:  KRL Bogor-Jakarta Kota Anjlok, Ini Rute Alternatif Terbaru KAI Commuter

Dari segi biaya, kereta memiliki keunggulan. Tarif Commuter Line dari Depok ke Bogor sekitar belasan ribu rupiah perjalanan pulang-pergi. Sementara, biaya transportasi darat bisa dua kali lipat, terutama jika harus melakukan transfer atau menggunakan ojek tambahan. Untuk mahasiswa, perbedaan ini sangat signifikan—uang yang dikeluarkan bisa digunakan untuk makan siang yang sehat atau fotokopi bahan kuliah.

Kurangnya kemacetan berarti bebas dari rasa stres. Tidak ada suara klakson yang bersahutan atau pengemudi yang saling mendahului. Dalam kereta, saya dapat membaca, menulis, atau bahkan tidur sejenak tanpa khawatir melewatkan pemberhentian. Dan yang paling penting, saya tiba di tujuan dengan energi yang masih utuh untuk melakukan aktivitas.

Perspektif Urban Mobility

Di tengah kesibukan kota Jabodetabek, Commuter Line bukan hanya alat transportasi—ia menjadi jalur utama pergerakan jutaan orang setiap hari. Mulai dari karyawan kantor, mahasiswa, pedagang, hingga wisatawan lokal, semuanya bersatu di dalam gerbong yang sama, duduk berdampingan tanpa batas status sosial.

Terdapat tradisi khas yang berkembang di kalangan penumpang kereta. Mulai dari cara memilih posisi berdiri yang nyaman, norma memberikan kursi kepada yang lebih tua, hingga aturan tak terucap seperti menggeser badan saat pintu terbuka. Pada jam sibuk, kereta menjadi ruang sosial kecil di mana interaksi singkat bisa terjadi—seperti senyum, percakapan ringan, atau bahkan pertemanan yang dimulai di peron.

Baca Juga:  Ingin Menginap Dekat BIJB? Penginapan Ini Mulai Rp 200 Ribu!

Selain manfaat sosial, KRL juga memberikan dampak baik terhadap lingkungan. Setiap penumpang yang memilih kereta berarti mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan raya, sehingga menurunkan polusi udara dan emisi karbon. Dalam konteks isu perubahan iklim, fungsi transportasi umum seperti ini semakin relevan.

Di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, kehadiran Commuter Line menjadi tulang punggung mobilitas perkotaan yang efisien. Layanan ini menghubungkan tempat tinggal di luar kota dengan pusat kegiatan, memungkinkan masyarakat tetap berkarya tanpa harus menghabiskan terlalu banyak waktu dan biaya dalam perjalanan.

Makna Kemerdekaan dalam Mobilitas

Bagi saya, kemerdekaan tidak selalu berarti bepergian tanpa batas. Terkadang, kemerdekaan justru dirasakan ketika kita memiliki pilihan alat transportasi yang efisien, terjangkau, dan nyaman. Selama 28 tahun menjadi penumpang kereta, saya memahami bahwa waktu yang dihemat dalam perjalanan bernilai sama dengan uang yang kita simpan.

KRL memberikan ruang untuk bernapas di tengah kepadatan kota. Ia membawa saya keluar dari kemacetan yang menghabiskan waktu berjam-jam, menghemat pengeluaran yang semakin mahal, dan memberi ketenangan pikiran agar bisa memulai hari dengan lebih tenang. Bahkan saat ini saya bekerja di luar Pulau Jawa, setiap kali pulang dan naik KRL lagi, saya merasakan keakraban yang sulit diungkapkan—seperti bertemu teman lama yang selalu menunggu di peron.

Kebebasan bergerak bukan hanya tentang sampai lebih cepat, tetapi juga tentang memiliki kendali atas kehidupan: kapan berangkat, berapa biaya yang dikeluarkan, dan bagaimana energi kita dialokasikan untuk hal-hal yang lebih penting. Dan di atas rel-rel itu, saya menemukannya.

Tentang Penulis: Samsul Budaeri

Gravatar Image
Samsul Budaeri adalah seorang penulis dan koresponden di media online BOGORMEDIA. Dia juga sebagai Admin di website media tersebut.

No More Posts Available.

No more pages to load.