TOKYO,
– Perhatian yang sebelumnya dikemukakan oleh bekas Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, selama diskusi panel tahun 2022 menjadi penting lagi menghadapi perkembangan politik global dewasa ini.
Pada saat tersebut, Kishida menegaskan bahwa situasi yang berlangsung di Ukraina mungkin juga akan terulang di Asia Timur di kemudian hari.
Dilansir dari
Asia Times
Pada hari Selasa, 11 Maret 2024, Kishida pertama kali menggarisbawahi bahaya serangan terhadap wilayah negara. Saat ini, ada tantangan baru yang jauh lebih rumit: adanya pengecualian terhadap mitra sekutu, seperti halnya apa yang dihadapi oleh Ukraine akibat tindakan Amerika Serikat (AS).
Walaupun Presiden AS Donald Trump menyatakan niatnya untuk mengakhirkan konflik, taktik yang dijalankannya justru mirip dengan negosiasi satu pihak yang memberikan keuntungan kepada Rusia.
Ukraina, dari sudut pandang berbeda, malah menerima klaim kompensasi signifikan, termasuk klaim terhadap sumber daya mineral sebagai balasan untuk dukungan militernya serta bantuan keuangan yang disediakan oleh Washington.
Perihal yang sama juga menjadi fokus bagi Menteri Pertahanan Singapura, Ng Eng Hen. Sebagaimana dilansir dari
Channel News Asia
pada Senin (3/3/2025), ia menyebut kebijakan luar negeri AS kini lebih menitikberatkan supremasi nasional dengan mengorbankan hubungan bilateral maupun multilateral.
“Citra AS sudah berganti dari seorang pemberontak menjadi perusuh utama, dan saat ini tampak lebih mirip dengan tuan tanah yang mengumpulkan upeti,” kata Ng, menyebutkan sikap AS yang semakin bersifat pertukaran dalam urusan diplomatik dunia.
Di Eropa, Trump mendesak negara-negara dengan defisit perdagangan besar agar mengeluarkan dana tambahan untuk kontribusi terhadap keamanan yang ditanggung Amerika Serikat.
Apabila pola tersebut diterapkan di Asia Timur, negara-negara dalam wilayah ini mungkin akan mengalami tekanan yang sama.
Walaupun begitu, terdapat dasar untuk percaya bahwa Asia Timur tidak akan menemui nasib yang serupa dengan Ukraine.
Salah satu alasannya adalah ikatan antara Amerika Serikat dengan negeri-negera di wilayah tersebut yang lebih banyak berfokus pada keuntungan finansial daripada prinsip-prinsip demokrasi atau HAM.
Meskipun demikian, tidak berarti negara-negara di Asia luput dari pengaruh keputusan Trump. Negara-negara yang memiliki defisit dagang signifikan dengan Amerika Serikat, misalnya Vietnam, Indonesia, Malaysia, serta Thailand, bisa jadi akan menghadapi tekanan ekonomi.
Sebagai contoh, Jepang sudah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan tekanan dari AS melalui pendekatan yang disebut “tiga P”.
praise
(memuji Trump),
pander
(menyesuaikan diri terhadap peraturan Amerika Serikat), dan
posture
(memastikan aliansi tetap kuat).
Namun begitu, strategi tersebut tidak memastikan bahwa Jepang akan luput dari tarif atau tekanan lain saat berunding dengan Washington.
Singapura, yang memiliki defisit dagang senilai 40 miliar dolar AS (setara dengan 656 triliun rupiah) dengan Amerika Serikat pada tahun 2022 serta menjadi tempat operasional untuk 6.000 perusahaan AS di wilayah Asia, pun ikut merasakan imbasnya apabila Trump menetapkan kebijakan-kebijakan bertajuk perlindungan ekonomi tersebut.
Pada saat bersamaan, Filipina, yang telah lama menjadi sekutu Amerika Serikat di kawasan ASEAN, mungkin akan mendapatkan tekanan berkaitan dengan dukungan militernya yang selama ini didapat dari Washington.
Menghadapi ketidakpastian tersebut, negara-negara di Asia perlu memperbarui strategi dengan cepat.
Apabila Trump membatalkan kembali janji Amerika Serikat terkait dengan kebijakan di Asia dan lebih mementingkan strategi bisnis, wilayah tersebut perlu bersiap menghadapi dinamika geopolitik yang semakin rumit.