Sebelumnya, saya menemukan dua berita yang pada pandangan pertama sepertinya tak ada hubungannya sama sekali. Salah satunya adalah tentang bagaimana transaksi daring di platform e-commerce baru saja mencapai puncak dengan diskon besar-besaran; penawaran kilat selalu diminati oleh banyak orang, mulai dari peralatan dapur sampai baterai cadangan terjual seketika. Berbeda halnya dengan situasi industri akomodasi dimana tingkat hunian hotel di Tanah Air mendekati Hari Raya Idulfitri tahun 2025 hanya menyentuh angka 20% meski lokasinya cukup populer layaknya Yogyakarta atau Bali. Sebuah gambaran sering kosong dan suram.
Sebuah satu sisi, kita bertanding untuk mendapatkan harga terendah. Sementara di sisi lain, sektor yang biasanya mengontrak jutaan pekerja— seperti sektor akomodasi dan pariwisata — kini sedang kesulitan.
Pertama-tama, saya kira itu hanya kesempatan tak terduga. Namun, setelah memikirkannya lebih lanjut, saya mulai menyadari adanya pola aneh. Terdapat hubungan antara kedua alam tersebut. Alam di mana perdagangan daring menjadi semakin keras dan alam bisnis tradisional yang secara bertahap menurun.
Pernah sekali saya berbincang santai dengan seorang teman yang dulunya memiliki toko perlengkapan laboratorium skala kecil. Tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta membayar gaji bagi tiga teknisi. Namun saat ini, usaha tersebut telah tutup. Bukannya karena kinerjanya kurang mumpuni, melainkan karena pembeli dari lembaga-lembaga tertentu semakin cenderung percaya pada produk-produk yang tersedia di platform e-commerce. Temanku berkata, “Di Tokopedia ada barang serupa namun harganya hanya separuh.” Meskipun demikian, apa yang dibandingkan oleh pihak-pihak tersebut adalah barang tiruan, tidak dilengkapi kalibrasi atau layanan pendukung teknis.
Dan cerita tersebut hanyalah salah satunya. Banyak pengusaha dari berbagai bidang—terkhusus pariwisata—melaporkan masalah serupa: permintaan pasar yang terus-menerus menginginkan harga lebih rendah tanpa peduli dengan mutu atau daya tahannya.
Apakah ada hubungan antara diskon pada saat flash sale dengan krisis di industri pariwisata? Kedua bidang ini tampaknya sangat berbeda, tetapi kenyataannya adalah bahwa semuanya saling terkait.
Saat masyarakat sudah biasanya memilih harga termurah, kemudian bisnis skala kecil tidak dapat bertahan lagi, akhirnya para karyawan akan diputus kontrak kerjanya. Saat jumlah pengangguran dan penurunan pendapatan meningkat, kapabilitas untuk berbelanja pun berkurang. Kapabilitas pembelian ini turun membuat individu mulai mengurangi pengeluaran pada barang-barang non-esensial seperti perjalanan wisata, makan malam di restauran, atau tinggal di hotel. Hotel-hotel menjadi sepi tamu, laba-restauran menipis, serta biro perjalanan harus tutup – hal itu semua semakin memperburuk kondisi ekonomi.
Ini bukan sekadar teori. Ini adalah kenyataan. Lebih dari itu, ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah maupun pengusaha. Sebagai konsumen, kita ikut membentuk dan mempertahankan pola konsumsi tersebut.
ternyata semuanya berhubungan. kita sama-sama mengupas masalah ekonomi ini.
Titik Awal Efek Domino
Awalnya, marketplace menjadi sumber penyelamatan. Ini membuat proses belanja lebih mudah, mengembangkan cakupan pasarnya, serta membuka kesempatan bagi banyak individu untuk menjual barang mereka. Namun, sama seperti sebuah pisau dengan dua mata, kenyamanan tersebut turut mendorong pertumbuhan gaya hidup konsumtif yang perlahan-lahan menjadi merusak: sikap serba hemat.
Kami semua telah mengalami hal ini. Melihat suatu produk dengan selisih harga hanya lima ribu rupiah, kita cenderung memilih yang lebih murah tanpa melihat siapa penjualnya, bagaimana reputasi mereka, ataupun spesifikasi dari barang tersebut. Yang menjadi prioritas adalah adanya diskon, gratis ongkos kirim, dan kemudahan untuk melakukan pembelian saat itu juga.
Harga murah mirip seperti mi instan—sederhana, cepat, dan memberikan kesenangan singkat. Namun jika dilakukan setiap harinya? Tentu saja tidak baik untuk kesehatan. Demikian pula dalam bidang ekonomi. Jika selalu mencari yang termurah, para penghasil barang akan terpaksa mengurangi biaya produksinya, meremehkan pekerjaannya, serta mengabaikan mutunya.
Saya mendengar tentang pengusaha yang menjual peralatan ukur berkualitas tinggi, lengkap dengan sertifikat, garansi, serta penyetelan formal. Namun, di platform online, terdapat produk serupa yang ditawarkan dengan harga hanya separuh dari harga aslinya, tanpa adanya layanan atau jaminan apapun. Meskipun demikian, konsumen masih lebih memilih opsi tersebut meski harganya rendah. Mengapa begitu? Sebab mereka tampak identik.
“Hei, bukannya fotonya sama ya, Pak?” Kalimat tersebut kerap ia dengar. Hal ini tentunya sangat menyakitkan. Sebab apa yang tampak pada layar, sering kali bisa menyesatkan.
Platform perdagangan membentuk kesan bahwa seluruh barang dapat dikomparasi hanya dengan melihat gambarnya serta harganya. Namun, sebenarnya tak semua jenis produk itu dapat disetarakan. Ini terutama berlaku bagi perangkat teknikal, layanan profesionalserta solusi yang memiliki nilai peningkatan.
Dan saat kita selalu menghubungkan produk dengan harganya, kita merugikan para pengusaha jujur dan berkualitas, mereka yang bekerja dengan etos kerja tinggi. Satu persatu dari mereka hilang. Bisnisnya gulung tikar. Pegawai di-PHK. Kemampuan masyarakat untuk membelanjakan uang juga menurun.
Inilah permulaan dari efek domino tersebut. Saat harga menjadi faktor penentu tunggal, maka kualitas, keberlanjutan, serta kesejahteraan mulai sirna secara bertahap.
Bila semuanya harusnya murah, tak perlu kaget jika perekonomian kita menjadi tidak berkualitas.
Kemampuan Membeli Menurun: Wisata Hanyalah Impian
Pada masa lalu, mendekati hari Lebaran merupakan waktu istimewa untuk berbagai usaha—khususnya industri perjalanan dan wisata. Hotel-hotel selalu dipadati, pesawat pun penuh penumpang, serta restoran tidak sempat menyiapkan mejanya karena sibuk melayani tamunya. Namun di tahun ini, situasi tampak sangat bertolak belakang: tingkat hunian hotel baru mencapai 20% dua pekan sebelum Lebaran. Ini mengindikasikan bahwa delapan dari sepuluh kamar masih kosong ketika biasanya menjadi periode yang ramai.
Apa yang terjadi?
Hasilnya mudah saja namun menakutkan: orang-orang tidak lagi memiliki dana untuk berlibur.
Kelompok berpenghasilan rendah hingga sedang saat ini menghadapi situasi serba kurang. Kini mereka tidak lagi memikirkan menyisihkan uang untuk cuti libur, tetapi lebih kepada menggunakan sisa simpanannya demi bisa makan setiap hari. Ini dikenal sebagai “gerakanku mantap” — konsumsi simpanan. Hal tersebut bukanya hanya lelucon semata dari media sosial, melainkan kondisi nyata yang didukung oleh data dan angka resmi.
Inflasi semakin meningkat. Kenaikan harga bahan bakar minyak dan pengurangan subsidi listrik membuat beban hidup menjadi lebih memberatkan. Semua ini menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan atau setidaknya pendapatan mereka berkurang. Sampai pegawai negeri sipil juga mengalami penundaan dalam proses pelantikan sebagai upaya untuk mencari keseimbangan pada Anggaran Negara. Dibalik semua itu, mesin ekonomi tampak seolah-olah telah melambat.
Temanku yang umumnya mudik ke desa dan menginap di hotel setempat, tahun ini hanya dapat pulang dengan cara yang sangat terbatas, menumpangi rumah kerabat. Dia berkata, “Sulit sekali untuk membayar biaya tol saja, Pak. Belum lagi kalau harus sewa hotel.”
Jika seseorang kesulitan membeli keperluan dasar, apakah mereka masih bisa memikirkan pergi liburan ke Bali atau Jogja? Hanya makan yang cukup sudah harus disyukur. Istilah staycation kini berubah menjadi “tetap di rumah mertua.”
Jangan lupa, pariwisata merupakan bagian dari sektor tersier. Ini berarti ia hanya berkembang setelah kebutuhan dasar dan menengah masyarakat telah tercukupi. Saat kemampuan membeli publik menurun, industri pariwisata menjadi yang pertama kali mengalami kesulitan.
Oleh karena itu, tidak perlu kaget jika melihat hotel-hotel yang kosong, restoran yang sepi pengunjung, dan agen perjalanan yang kurang ramai. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidaksukaan orang terhadap berlibur, tetapi lebih kepada kehilangan kemampuan untuk membayangkan diri sedang melakukan hal tersebut.
Jika hari ini Anda bertanya-tanya mengapa tempat wisata terlihat sepi, cobalah periksa isi dompet orang-orang di sekitar Anda. Mungkin saja Anda tidak menemukan gambaran kemundangan pariwisata di billboard atau sebagai headline berita, namun Anda dapat menyadarinya dari ekspresi para ibu rumah tangga yang lebih kerap memeriksa harga telur daripada penawaran penginapan.
Bukan wisata yang gagal. Namun kemampuan membeli kita yang perlahan-lahan menghilang.
Promo yang Telat dan Kurang Akurat Sasarannya
Umumnya sebelum lebaran, biaya untuk tiket pesawat dan penginapan cenderung meningkat. Namun di tahun ini, pihak berwenang justru fokus pada penurunan harga tersebut. Harga tiket pesawat dikurangi. Biaya tol juga dipotong. Sementara itu kereta api mendapat subsidi. Tujuannya adalah agar warganya masih dapat melaksanakan ibadah pulang kampung serta mengambil waktu istirahat dengan lebih murah.
Namun sayangnya, aturan tersebut tiba dengan keterlambatan. Lagipula, fokusnya pun tidak akurat.
Bayangkan saja: kebanyakan orang Indonesia bukanlah wirausahawan atau freelancer yang dapat dengan mudah mengambil cuti untuk bepergian. Mereka umumnya berprofesi sebagai pegawai kantor, tenaga kerja, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan guru. Musim libur besar seperti Idul Fitri merupakan kesempatan tunggal bagi mereka untuk merancang perjalanan—oleh karena itu, persiapan ini telah direncanakannya jauh-jauh hari. Tiket pesawat? Sudah dipesannya enam bulan lebih awal. Akomodasi hotel pun sudah disiapkannya bahkan sejak tahun sebelumnya. Oleh sebab itu, saat pemerintahan memberitahu tentang program diskon pada Bulan Maret 2025, hal tersebut mirip seperti menawarkan payung sesudah hujan mulai surut.
Lebih lanjut, potongan harga pada tiket tidak mengatasi permasalahan jika keadaan dompet warga tengah kosong. Sama halnya dengan tiket yang meskipun sehemat apapun, bila saldo di rekening hanya menyisakan satu ratus ribu saja, masih belum dapat membelinya. Oleh karena itu, inti dari persoalan ini bukan sekadar soal harganya saja, melainkan situasi ekonomi secara umum.
Ironisnya, diskon ini justru memperparah kesulitan bagi maskapai dan penyedia layanan transportasi. Seharusnya periode Lebaran menjadi momentum positif untuk mereka, namun kenyataannya perusahaan-perusahaan itu dipaksa menjual dengan harga di bawah ambang batas yang sudah tidak relevan selama lima tahun belakangan. Sementara biaya operasional meningkat—mulai dari UMR hingga harga bahan bakar dan pajak pun melambung tinggi,—harga tiket diminta untuk diturunkan. Hasil akhirnya adalah tekanan finansial ganda: biaya membengkak tetapi pemasukan dibatasi.
Pada saat yang sama, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand telah jauh lebih siap. Mereka memberikan diskon jauh sebelum waktu tersebut dan mendukung sektor penerbangan serta pariwisata sejak tahun lalu. Akibatnya, banyak penduduk Indonesia memilih untuk berlibur di luar negeri karena harga tiketnya yang lebih terjangkau, penawaran yang dimulai lebih dini, dan fasilitas infrastruktur yang lebih baik.
Maka diskon mendadak dari pemerintah Indonesia ini bukanlah jawaban tepat, melainkan seperti perban yang dipasang pada lukanya telah terinfeksi.
Pergi liburan tidak hanya terkait dengan biaya, tetapi juga tentang persiapan keuangan dan strategi yang bijak. Sayangnya, kita sudah tertinggal di kedua aspek tersebut.
Infrastuktur dan Peraturan yang Menjadi Penghalang
Satu elemen yang kerap diabaikan dalam industri perjalanan wisata adalah kemudahan aksesibilitas serta pengalaman para pelancong. Sehebat apapun keindahan destinasi kita, jika menuju lokasinya harus melewati jalan bergelombang layaknya kolam ikan, siapa yang akan tertarik berkunjung?
Pernah ada rencana untuk melancong ke Krui, Lampung Barat. Di sana pantai sangat indah dan menjadi incaran para surfers internasional. Namun, setelah melihat situasi jalan raya lewat sebuah klip video daerah setempat, impian tersebut pupus sudah. Jalanan dipenuhi lubang besar, jalur terbatas, serta sering mengalami longsoran tanah. Hal ini tidak hanya terjadi pada suatu lokasi saja. Berbagai tempat pariwisata kita gagal menarik pengunjung tak lantaran kurang daya tarik alam atau budayanya, tetapi gara-gara infrastruktur pendukung yang membuat siapa pun enggan berkunjungi.
Ironisnya, meskipun membangun infrastruktur sudah dilakukan belum tentu memberikan dampak yang baik. Sebagai contoh, pembangunan jalur toll menuju Yogyakarta mestinya dapat mendorong pertumbuhan industri pariwisata. Namun, realitanya hal tersebut tidak sesuai dengan harapan; para wisatan justru lebih suka menginap di daerah-daerah sekitar perbatasan seperti Klaten dan Boyolali karena biaya hidup yang lebih rendah. Mereka hanya singgah ke Kota Yogjakarta pada siang hari dan kemudian pulang lagi ke tempat tinggal sementara mereka yang ada di luar kota saat petang tiba. Akibat dari pola perilaku semacam itu adalah hilangnya peluang bisnis bagi hotel-hotel yang berada di tengah-tengah Yogjakarta.
Infrastruktur yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan tingkah laku para pelancong dan perubahan ekonomi setempat justru menghasilkan aliran kunjungan ke lokasi lain. Ini hanyalah salah satu kasus dari berbagai proyek yang tidak menyadari situasinya dengan baik.
Kemudian, ada pula faktor aturan — mohon maaf — yang kadang terlalu kurang dipikirkan dengan matang. Sebagai contoh, larangan meminum bir di kawasan pantai pariwisata. Kelihatannya remeh? Namun, bagi turis mancanegara, ini memiliki makna yang signifikan. Bagi mereka, bersantai dan menyesap bir di tepi pantai merupakan hal biasa. Saat aktivitas tersebut dilarang, bahkan tampak seperti ancaman, para pelancong asing akan langsung menghapus lokasi itu dari daftar destinasi liburannya.
Pernah berbicara dengan manajer sebuah homestay di kawasan pantai, dia mengatakan bahwa tamu asing yang biasa datang telah menjadi jarang. “Mereka khawatir, Pak. Khawatir disalahartikan dan merasa cemas. Meskipun dahulunya sangat setia; tiap tahun selalu berkunjung,” jelasnya.
Inilah intinya. Kami memiliki tujuan yang menakjubkan tetapi tidak siap untuk dikunjungi. Peraturannya rumit, aksesnya membuat lelah, promosinya terlambat, dan layanan yang tersedia sangat kurang.
Wisata lebih dari sekadar lokasi. Ini tentang merasakan keamanan, kemudahan, dan keseruan. Semuanya bermula dari regulasi dan fasilitas yang dirancang untuk kenyamatan pengunjung.
Saat Segalanya Tersambung: Pasar Online, Kemampuan Membeli, sampai Wisata
Jika dilihat satu persatu, sepertinya tidak ada hubungan antara satu dengan lainnya: pasar online terjangkau, pemutusan kerja di pabrik, tingkat hunian hotel menurun drastis, dan pelarangan minuman beralkohol di tepi pantai. Namun jika Anda menggali lebih dalam untuk mencari keterkaitannya, semuanya merupakan bagian dari rangkaian efek dominosebuah proses tak kasatmata namun sangat pasti yang tengah berlangsung secara bertahap.
Mari kita bahas tentang kebiasaan konsumtif ini. Saat masyarakat terus-menerus mencari produk dengan harga paling rendah, perusahaan-perusahaan pun akhirnya beradaptasi. Mereka harus menjual barang-barang mereka sehemat-hematnya, tanpa mempedulikan apakah standar kelayakan sudah sesuai atau belum. Jika tidak mau menyesuaikan diri, kemungkinan besar akan kehilangan pangsa pasarnya. Akibatnya, hanya perusahaan yang dapat bersabar dalam pengeluaran modal atau mereduksi mutunya saja yang tetap bertahan.
Usaha menghadapi kemunduran, pegawai diberhentikan. Terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Tingkat pengangguran meningkat. Mereka yang sebelumnya hilang sumber pemasukannya dan biasanya membelanjakan uang dengan wajar, kini menjadi sangat teliti dalam hal pembelanjaan. Ini bukan disebabkan oleh sikap pelit, tetapi mereka telah kehabisan ruang untuk bersikap boros.
Mereka menunda pembelian pakaian baru, mengurangi jajan diluar rumah, apalagi pergi staycation. Liburan kini menjadi suatu bentuk kemewahan daripada sebuah keperluan. Tempat penginapan mulai lengang, bisnis restoran terdampak negatif, dan para supir tur wisata beralih sebagai ojek online. Pada tahap ini industri pariwisata pun juga tertimpa badai.
Saat industri wisata mengalami penurunan, pengaruhnya akan berbalik kepada masyarakat. Bidang ini menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang dari kalangan menengah hingga bawah seperti petugas bersih-bersih hotel, pelayan restoran, pandu turis, satpam parkir, pemilik toko souvenir, supir agen perjalanan, bahkan fotografer di tepi pantai. Jika sektor tersebut runtuh, akibatnya secara langsung dirasakan oleh penduduk biasa.
Menyedihkannya, dampak tersebut terus memburuk. Semakin banyak orang yang kehilangan pendapatan, semakin menurun pula kemampuan untuk membeli barang, dan semakin parah kerusakan pada sektor jasa, begitu seterusnya. Siklus itu tak pernah berakhir.
Semua ini bermula dari satu hal sederhana: kita sebagai masyarakat turut serta mempercepatnya tanpa disadari. Saat mengikuti penjualan kilat, kita menekan tombol ‘checkout’, senang bisa mendapatkan potongan harga 50 ribu rupiah, namun tidak menyadarinya bahwa seorang pebisnis lokal telah kehilangan salah satu pembelinya. Ini terjadi jutaan kali, setiap harinya.
Satu diskon kilat tidak akan membuat bangkrut. Namun jutaan kali diskon kilat, dengan konsumen yang kurang sadar, dapat meruntuhkan sebuah perekonomian secara bertahap.
Saatnya Berhenti Menggali Lubang
Terkadang, kehancuran tidak muncul sebagai suara ledakan hebat. Sebaliknya, ia tiba secara perlahan-lahan, seolah-olah tanpa diketahui. Mulanya dari diskon-diskon kecil di sana-sini, berawal dari pilihan untuk selalu membandingkan harga tanpa benar-benar mengerti apa yang dibeli. Kemudian berkembang melalui kecenderungan memilih barang dengan harga termurah dan pada akhirnya semuanya menjadi begitu rendah sehingga sulit lagi bagi mereka untuk tetap eksis.
Kita mungkin merasa menjadi pembeli bijaksana hari ini dengan sukses melakukan transaksi belanja hemat. Namun, apakah kita sadar bahwa hal tersebut sebenarnya turut menghancurkan para pebisnis skala kecil yang tak dapat bertahan dalam persaingan tarif super rendah? Ketika mereka terdepak dari pasar, struktur perekonomian yang mendukung kita pun semakin lemah. Pada akhirnya, efek negatif itu akan kembali mempengaruhi kita bersama-sama: angka pengangguran meningkat, jumlah lowongan pekerjaan berkurang, serta harapan untuk memiliki gaya hidup yang lebih baik hilang tanpa jejak.
Parawisata hanyalah salah satu bagian industri yang dampaknya langsung terlihat. Namun, jangan abaikan juga bidang-bidang lain seperti pendidikan informal, layanan profesional, perawatan kesehatan alternatif, dan bahkan ekonomi kreatif — semua ini siap-siap menghadapi kemunduran jika tren belanja kita tetap tak berubah. Segala sesuatu yang nilai jualnya tidak murah pun dapat hilang apabila perilaku konsumtif masyarakat masih sama.
Ini tidak bertujuan mendorongmu agar mengakhiri aktivitas belanja daring. Juga bukan bermaksud untuk menyalahkan total kepada platform e-commerce ataupun pihak pemerintahan. Namun, pesannya adalah tentang kesadaran bahwa tindakan sederhana yang kita ambil memiliki dampak signifikan.
Terkadang, memulihkan ekonomi tak perlu adanyarevolusi. Cukup dengan kesadaran untuk menghormati hal-hal yang seharusnya dikagumi.
Bisa jadi saat ini Anda masih dapat memilih-memilh soal harganya. Namun perlu diingat bahwa di tempat lain, ada orang yang tengah kesulitan hidup sebab kita selalu saja mendesak untuk menurunkannya. Jika para pedagang lokal semuanya lenyap dan usaha-usaha skala kecil pun tutup satu persatu, maka kita bakalan berada dalam suatu lingkungan yang hanya menjajakan barang-barang dengan harga rendah… namun tak ada satupun produknya yang pantas dibeli.
Karena pada akhirnya kita akan menyadari:
Harga murah terlihat menguntungkan sebentar saja, namun bisa jadi lebih berharga di masa depan.
Oleh karena itu, mari hentikan penggalian ini — sebelum perekonomian kita betul-betul menjadi rendah hati — marilah berbelanja dengan bijak. Liburanlah dengan penuh kepedulian. Hargailah usaha orang lain seperti yang kamu harapkan untuk diperlakukan.
Bukan dikarenakan kekayaan kami. Namun, alasannya adalah agar kami tidak diam-diam membiarkan setiap bisnis di lingkungan sekitar kami mengalami kemunduran secara bertahap tanpa menyadarinya.