Misa Minggu 2 Februari 2025 di Gereja Katedral Semarang bersamaan dengan diselenggarakannya Bazar UMKM Kapuk Randu di halaman gereja. UMKM Kapuk Randu adalah UMKM yang dibina Gereja Katedral Semarang. Agar tidak mengganggu konsentrasi umat, pintu ke arah bazar ditutup separuh oleh petugas beberapa saat sebelum misa dimulai.
Tiba-tiba ada seorang pemuda berusaha untuk membuka pintu yang memang agak sedikit susah untuk dibuka. Karena kesulitan, akhirnya tampaknya adik si pemuda ini membantu membukakan pintu. Ternyata si pemuda mendorong Ibunya yang duduk di kursi roda. Kemudian si pemuda ini menempatkan Ibunya yang tetap duduk di kursi roda di lorong persis di dekat pintu masuk.
Dia sendiri dan adiknya duduk tepat di bangku di belakang sang Ibu. Sebenarnya tempat duduk yang ditempati si pemuda ini dan adiknya adalah tempat duduk untuk lansia, difabel atau mereka yang sakit. Tetapi petugas membiarkan mereka duduk di situ. Tak berapa lama, ayah si pemuda kemudian menyusul duduk di samping mereka berdua.
Bacaan Injil
Saya, istri dan anak saya, seperti biasa mencoba untuk hadir minimal lima belas menit sebelum misa dimulai. Ritualnya setiap minggu pun sama. Sebelum misa, saya biasanya mencoba membaca bacaan-bacaan untuk misa hari tersebut.
Thema misanya adalah seperti judul artikel ini ‘Melihat dengan Mata Iman, Menyambut dengan Hati Terbuka’. Saya tertarik dengan kisah Simeon di Bacaan Injil yang diambil dari Lukas 2:22-40. Pada ayat 26 disebutkan, bahwa Simeon tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan.
Ketika Yesus kecil dibawa masuk oleh orang tua-Nya ke dalam Bait Allah, ternyata Simeon melihat Yesus dengan mata imannya. Di ayat 28 disebutkan, bahwa Simeon menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah. Jika Simeon melihat dengan mata lahriah saja, maka yang Simeon lihat barangkali hanyalah anak kecil yang sama dengan anak kecil yang lain.
Di ayat 29 disebutkan kata-kata Simeon: ‘Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu, ….’ Dengan mata imannya Simeon mampu melihat Anak itu sebagai Mesias, dan setelah melihat Anak itu yang bukan lain adalah Yesus kecil, Simeon siap untuk mati, seperti yang saya baca di ayat 26. Bahkan Simeon bukan hanya melihat dengan mata iman, tetapi menyambut Yesus dengan hati yang terbuka.
Refleksi
Saya jadi berusaha untuk menggunakan mata iman saya dan mencoba terbuka untuk apa-apa yang saya akan lihat dan dengarkan saat misa. Katanya, Tuhan bisa hadir dalam setiap peristiwa dalam hidup saya melalui siapa saja dan kapan saja. Dengan cara yang sederhana dan melalui peristiwa yang tidak terduga serta melalui orang-orang yang tidak terduga.
Saya jadi menduga-duga, apakah keluarga yang saya uraikan di beberapa alinea pembuka renungan ini merupakan orang yang tidak terduga, peristiwa sederhana dan cara yang juga tidak saya duga, agar saya bisa belajar untuk menjadi lebih baik.
Saya jadi makin memperhatikan keluarga tersebut. Dan, benar, saya belajar bagaimana adik si pemuda begitu khawatir saat ibunya mencoba berdiri saat akan dibacakan Bacaan Injil. Dia berusaha untuk menjaga ibunya dengan menempelkan tangannya di pinggang si ibu. Beberapa kali, dia lakukan hal tersebut setiap kali si Ibu mencoba berdiri dari kursi rodanya. Cinta kasih seorang anak kepada ibunya benar-benar tercermin dari sikap adik si pemuda ini.
Saya? Saya selalu membiarkan dan cenderung mengabaikan ibu saya saat dia masih hidup. Jika ibu saya ada dalam kondisi seperti ibu si pemuda, dan ternyata ibu saya terjatuh, saya hampir pasti akan mengatakan ‘Sudah tahu sulit berdiri, koq ya masih memaksakan berdiri.’ Paling, saya akan membantu setelah ibu saya terjatuh. Semuanya tentu bukan kesalahan orang tua saya, jika saya melihat kembali masa lalu saya, tetapi lebih pada kebebalan saya dan jiwa pemberontakan saya.
Pelajaran yang lain. Ternyata si ibu ini punya anak perempuan yang sudah menikah. Keluarga anak perempuan duduk di barisan depan. Sebelum misa dimulai, anak perempuannya ini mengantar anaknya ke sang kakek. Yang menarik adalah saat akan menerima berkat, si cucu berjalan ke arah belakang dan mulai mengantri dari barisan paling belakang. Padahal biasanya anak-anak yang lain akan memotong barisan dengan masuk dari lorong di tengah gereja.
Pasti si cucu dan adik pemuda ini dididik oleh orang tuanya untuk mengasihi orang tuanya dan tidak merugikan orang lain dengan belajar tertib mengantri. Dan, si anak dan cucunya tidak bebal seperti saya, sehingga mereka mampu mencerna dengan baik ajaran orang tua dan kakek neneknya.
Waduh. Saya koq ya lupa mengajarkan hal ini kepada anak saya. Meskipun, ini tidak berarti anak saya tidak mencintai ibunya dan tidak mau tertib mengantri. Masalahnya adalah anak saya bisa melakukannya bukan karena saya mengajarkan dan menekankannya.
Ke Depannya
Meskipun saya banyak belajar dari keluarga tersebut, tetapi saya memang tidak perlu mempraktekkan hasil refleksi saya, karena anak saya entah belajar dari mana, juga sudah mempraktekkannya. Saya bahkan sangat terkejut anak saya saat SMA mau menjadi misdinar.
Namun, saya punya kesadaran yang baru, bahwa apapun perilaku dan kata-kata kita ternyata bisa menjadi inspirasi untuk orang lain. Masalahnya apakah inspirasi tersebut adalah inspirasi untuk berbuat baik atau sebaliknya. Mudah-mudahan saya bisa memberikan inspirasi bagi orang lain untuk berbuat baik, seperti keluarga yang saya ceritakan. Semoga.
Tetapi apakah hal itu berarti saya harus melakukan pencitraan? Saya yakin ada banyak kerikil tajam dan batu sandungan yang dialami oleh keluarga yang telah membuat saya belajar. Tuhan mengajari saya melalui keluarga ini. Lalu apakah yang mereka lakukan merupakan pencitraan dan saya juga akan melakukan pencitraan terus?
Saya ingat pertanyaan teman saya kepada sejawat saya. Semula saya tidak mengetahui pertanyaan ini: Wijanto itu miskin atau sederhana? Suatu saat teman saya ini bertanya ketika saya mengantarkan dia dengan menggunakan kendaraan kuno, yang dulunya harganya mahal saat masih baru, milik orang tua saya. Semula saya tidak paham arah pertanyaannya. Dia bertanya apakah orang tua saya dulu membeli kendaraan ini baru atau dalam kondisi bekas. Dengan tanpa merasa berdosa, karena saya tidak tahu arah pertanyaan ini, saya menjawab bahwa orang tua saya dulu membeli kendaraan ini dalam kondisi baru.
Dia mengangguk-angguk. Saya yakin dia menyimpulkan bahwa saya adalah orang yang sederhana, bukan miskin. Tetapi, dia salah. Orang tua saya kaya, bukan berarti saya kaya. Kesimpulan dia keliru. Alangkah capainya jika saya berpura-pura sederhana. Suatu saat saya juga mungkin lupa berpura-pura. Saya seperti saat ini, ya karena kemampuan ekonomi saya tidak seberapa.
Saya yakin keluarga yang menginspirasi saya juga tidak melakukan pencitraan, karena mereka melakukan hal sama, penuh cinta dan tertib, sampai mereka mengendarai mobilnya.
Hari ini saya belajar, alangkah indahnya jika hidup saya bisa menginspirasi orang lain untuk berbuat baik. Bisakah? Masih jauh. Setua ini kerja saya cuma merenung, belajar dan refleksi tanpa implementasi.