Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan hasil sitaan dari rumah Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila (PP), Japto Soerjosoemarno, yang digeledah pada Selasa (4/2/2025).
Dari rumah Japto di Jakarta Selatan itu KPK menyita sebanyak 11 mobil berbagai merek.
“Pada rumah yang berlokasi di Jakarta Selatan, penyidik melakukan penyitaan terhadap 11 mobil dengan beragam jenis,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, Kamis (6/2/2025).
Sebanyak 11 mobil yang disita di antaranya, Jeep Gladiator Rubicon, Landrover Defender, Toyota Land Cruiser, Mercedes Benz, Toyota Hilux, Mitsubishi Coldis, dan Suzuki.
Selain 11 mobil, penyidik KPK juga menyita uang rupiah dan valuta asing yang bila ditotal sebesar Rp56 miliar.
“Uang dalam mata uang rupiah dan asing senilai Rp56 miliar, dokumen dan barang bukti elektronik,” imbuh Tessa.
Selain menggeledah rumah Japto, penyidik KPK juga menggeledah rumah politisi Partai NasDem, Ahmad Ali, di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Dari rumah mantan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem itu KPK menyita uang rupiah dan valas yang bila dijumlahkan nilainya Rp3,4 miliar.
“Pada rumah yang berlokasi di Jakarta Barat, Penyidik melakukan penyitaan terhadap uang sebesar Rp3,4 miliar,” kata Tessa.
Selain uang miliaran, penyidik juga menyita tas dan jam tangan mewah, dokumen, serta barang bukti elektronik (BBE).
Dihubungi terpisah, Sekjen Pemuda Pancasila, Arif Rahman mengatakan pihaknya menghormati proses hukum yang dilakukan oleh KPK.
“Kami menghormati proses hukum yang berlaku dan yang terpenting kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah,” Arif Rahman.
Arif mengatakan Japto menghormati KPK yang profesional dalam menjalankan tugas.
Dia mengatakan Japto tidak merasa keberatan atas penggeledahan tersebut.
“Beliau juga menyampaikan bahwa respek terhadap KPK karena sangat kooperatif dan profesional dalam menjalankan tugas,” tuturnya.
Arif menyebut Japto meminta seluruh kader PP berpikir positif dan tak bereaksi berlebihan.
Japto, katanya, berharap kader PP mendoakan agar masalah tersebut dapat segera selesai.
“Tidak ada sama sekali (protes) tidak ada arahan khusus beliau hanya meminta seluruh kader untuk berpikir positif jangan bereaksi berlebihan, tetap semangat menjalankan aktivitas organisasi,” kata dia.
Adapun penggeledahan yang dilakukan KPK di rumah Japto dan Ahmad Ali itu berkaitan kasus dugaan penerimaan gratifikasi dengan tersangka mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Rita Widyasari. KPK menduga uang dan barang-barang yang disita dari rumah Japto Soerjosoemarno berkaitan dengan kasus gratifikasi Rita Widyasari.
“Semua yang disita tersebut diduga terkait dengan perkara tersebut dan akan ditelaah lebih lanjut,” ujar Tessa.
Rita Widyasari kembali diproses hukum KPK karena diduga menerima gratifikasi berkaitan dengan pertambangan batu bara, jumlahnya sekitar US$3,3 hingga US$5 per metrik ton batu bara.
Rita diduga juga telah menyamarkan penerimaan gratifikasi tersebut sehingga KPK menerapkan Pasal TPPU.
Sejumlah aset yang disinyalir bersumber dari hasil korupsi masih terus didalami. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memeriksa saksi-saksi.
Pada Kamis, 27 Juni 2024, KPK telah memeriksa pengusaha asal Kalimantan Timur yang bernama Said Amin.
Tim penyidik mendalami perihal sumber dana pembelian ratusan mobil yang telah disita sebelumnya.
KPK juga telah memeriksa dan menggeledah rumah kediaman Direktur Utama PT Sentosa Laju Energy, Tan Paulin alias Paulin Tan, di Surabaya, Jawa Timur.
Rita bersama Komisaris PT Media Bangun Bersama Khairudin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 16 Januari 2018.
Rita dan Khairudin diduga mencuci uang dari hasil tindak pidana gratifikasi dalam sejumlah proyek dan perizinan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar Rp436 miliar.
Mereka disinyalir membelanjakan penerimaan hasil gratifikasi tersebut untuk membeli kendaraan yang menggunakan nama orang lain, tanah, uang tunai, maupun dalam bentuk lainnya.
Rita kini mendekam di Lapas Perempuan Pondok Bambu untuk menjalani vonis pidana 10 tahun penjara.
Berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), Rita juga dihukum membayar denda sebesar Rp600 juta subsider enam bulan kurungan dengan hak politik dicabut selama lima tahun, terhitung mulai dari yang bersangkutan selesai menjalani pidana pokok.
Rita terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp110,7 miliar dan suap Rp6 miliar dari para pemohon izin dan rekanan proyek.