Cinta yang Berkembang dari Kebiasaan dan Kesetiaan

by -di lihat 0 kali

Terdapat satu buah lagu dengan lirik sekitar begini: Saya tidak terbiasa jika engkau tidak berada di sampingku. Saya tidak terbiasa apabila saya tidak mendengarkan suaramu. Itulah kebenaran sesungguhnya, dan pengalaman itu telah saya rasakan secara pribadi.

Sulit, mudah, berselisih, kemudian membaik kembali. Jika jarak membuat rindu, namun terkadang jika dekat malah disepelekan. Hahaha… Lalu, apa itu cinta? Mari kita bahas sedikit demi sedikit menurut pendapat saya yang tentunya tidak profesional.

Dalam pernikahan lalu membentuk suatu keluarga, diperlukan komitmen besar. Jika dikatakan harus serius, maka memang seharusnya serius. Namun ketika melaksanakannya, tidak selamanya harus terlalu kaku atau keras kepala. Belajar sambil melakukan pun boleh, cukup ikuti arah dan jalannya saja.

Terkadang arusnya melalui celahan penuh duri, namun ada kalanya ia berlalu lewat jalanan tenang, menyenangkan, tertib, serta memesona. Pola perubahannya tidak dapat diprediksi. Mirip dengan emosi kita ketika memulai hal-hal besar dalam hidup; rasa gugupsipun bergejolak tanpa pasti. Terkadang cepat, pelan, riuh, atau merdu. Beragam dan menghibur. Ini adalah hal biasa, teman-teman semuanya!

Membutuhkan waktu sangat lama untuk mencapai jalan yang sungguh tenang, nyaman, tertib, dan cantik. Jalan tanpa konflik dan dengan persetujuan bersama. Dia berkata, “Sayangku, aku ingin hal semacam itu. Bolehkah?” Dan dia menjawab, “Tentu saja, Sayang. Namun kita harus menunggu sampai keuangan memadai. Mohon doanya agar segera terealisasi.” Kemudian, sepakatlah keduanya dalam doa mereka dengan menyebut ‘Amin’. Benar sekali, bukankah begitu adanya? Mereka sama-sama setuju.

“Pada pandangan pertama, orang lain mengira bahwa kita merupakan sepasang kekasih, namun sebenarnya… hehe.” Gelak tawanya terdengar bersamaan dengan milikku sendiri. Bagaimana bisa dikatakan romantis kalau sering kali kita ribut dan bermuka masam satu sama lain? Namun itu hanya sementara, karena keduanya sadar akan titik lemah yang dapat meruntuhkan dinding keteguhan mereka. Seperti misalnya ajakan untuk menyantap siomay berbarengan sebagai cara memulangkan rasa marah. Sebelumnya masih dalam kemarahannya, tetapi akhirnya tersenyum mendapatkan mangkuk penuh siomay tersebut.

Biasanya bertemu setiap harinya, senantiasa bersama, dan melihat kekasih setiap saat, ia tetap begitu. Bila tidak ada rasa kasih sayang, mungkin hal ini menjadi berbeda. Mungkin saja merasakan jenuh bila bukan pada orang yang tepat. Dia menanyakannya, “Adakah rasa bosan padaku?” Tanggapannya adalah, “Tidak sama sekali, malahan semakin mencintai.” Kemudian dilanjutkan dengan kata-kata lainnya.

Hai, bisa tolongambilkan ini untukku?

“Baik, Darling,”

Memohon bantuan dari pasangan itu baik-baik saja. Satu atau dua kali tidak masalah. Tapi berkali-kali? Apakah dia seperti seorang pembantu? Namun ketika menghadapi orang yang kita sayangi, justru lebih mudah untuk membantu mereka tanpa ragu. Toh sama-sama memberikan dukungan selama masih sanggup dan mempunyai kesempatan. Mengapa tidak? Bukankah kisah kami adalah tentang rasa cinta kita satu sama lain. Benarkah begitu?

Cinta merupakan karunia dari Sang Pemurah Kuasa. Kebiasaan saling mencintai antara pasangan menjadi faktor penting untuk menjadikan perkawinan berlangsung lama. Cinta perlu terus dirawat dan dikembangkan supaya selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Ingin selalu berada di sampingnya, terutama ketika membutuhkan dukungan, khususnya saat perasaan sedang kurang baik. Begitu pula saat suasana hati tidak menyenangkan, pastilah keinginan untuk bersandar di bahunya muncul.

Aku butuh kamu, sayang. Aku rasanya ingin di temani olehmu.

Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu tidak sehat, Darling?

Tidak, aku cuma ingin digendong,

“Oh, kirain.”

Seperti itulah kira-kira. Ketika merasakan kesedihan akibat sebuah permasalahan, orang cenderung ingin berbagi dengan pasangannya. Membutuhkan seorang sahabat yang dapat memberikan saran tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut.

Sebaliknya dari rasa kagum yang seharusnya membuat seseorang tampak seperti pahlwan untuk pasangannya—yang bisa diandalkan dan berhasil dalam mendukung emosinya—justru semakin memperkuat perasaan cintanya.

Selama masa perkawinan kami, telah melalui berbagai pelajaran kehidupan. Kami belajar untuk saling menghormati, mencintai, serta memahami satu sama lain. Memang, dalam teorinya sangat sederhana untuk menyampaikan hal tersebut. Namun ketika menerapkannya, diperlukan usaha keras layaknya aliran sungai yang terus mengalir. Tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Menggabungkan dua jiwa dalam perkawinan tidak sebersih merangkai kata-kata di novel. Dibutuhkan keseimbangan, tindakan yang penuh penghargaan satu sama lain serta adanya kasih sayang.

Cinta dapat tetap hadir lantaran kebiasaan dan senantiasa mendampingi. Namun, hal ini tidak bermakna perlu bertatap muka setiap saat atau menitnya. Adanya komunikasi menjadi penghubung serta jaga agar hubungan tak putus. Berbalas hormat satu sama lain juga saling menghormati. Meski sulit, namun bukan mustahil untuk dikerjakan.

Jika pernikahan kami telah berjalan selama 27 tahun dengan segala naik turunnya yang tak monoton dan cukup menantang, bayangkan keadaan Ayah Tjipta dan Bunda Rose setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama 60 tahun. Tentu mereka akan semakin luar biasa dan pantas untuk dipujian. Sungguh sulit dibayangkan. Wah, sungguh luar biasa.

Bapak Tjipta dan Ibu Rose dapat dijadikan teladan luar biasa untuk para pasangan muda dalam menghadapi perkawinan. Terdapat rasa saling melengkapi antara kedua belah pihak tersebut. Cerita mereka berdua memiliki banyak pelajaran serta contoh baik yang bisa kita ambil dan tiru dalam meniti hidup rumah tangga, termasuk oleh saya dan beberapa teman lainnya.

Saran saya adalah: “Selamat Ulang Tahun Emas kepada Ayah Tjipta dan Bunda Rose. Semoga hubungan Anda berdua abadi. Teruslah menunjukkan semangat hidup yang positif. Mudah-mudahan senantiasa sehat dan bahagia. Jaga terus jadi panutan serta sumber motivasi bagi para pasutri muda di dunia ini.”

Salam penuh kasih sayang serta doa tulus buat Ayah Tjipta dan Bunda Rose dari keluarga besar kami di Semarang. Kami sangat mencintai kalian berdua.

Wahyu Sapta.

Semarang, 28 Oktober 2024.

Tentang Penulis: Samsul Budaeri

Gravatar Image
Samsul Budaeri adalah seorang penulis dan koresponden di media online BOGORMEDIA. Dia juga sebagai Admin di website media tersebut.

No More Posts Available.

No more pages to load.