Sejak puluhan tahun silam, Kampung Budi Asih yang terletak di Desa Gunung Mulya (Desa Pemekaran Gunung Malang, Red) bertebaran kelinci-kelinci disetiap pekarangan rumah warga, bahkan hingga kedalam rumah pemiliknya.
Desa Gunung Mulya yang memiliki luas kurang lebih 388,535 hektar, memiliki jumlah penduduk 6.764 jiwa dan 1827 kepala keluarga ini merupakan wilayah pemekaran Desa Gunung Malang memiliki komunitas peternak kelinci yang sudah turun temurun. Komunitas itu tersebar di lingkungan Rw01, 02, 03, 04, 10 terletak di kaki gunung Salak Bogor dan berbatasan dengan Desa Setu Daun (sebelah utara), Desa Tapos II (sebelah barat), Desa Gunung Malang (sebelah selatan), dan Desa Suka Jadi Kecamatan Taman Sari (sebelah timur ).
Dikisahkan, pada masa itu rumah warga berbentuk rumah panggung tiang pendek, sehingga kelinci-kelinci itu dengan sendirinya menerobos kolong rumah sebagai sarang mereka dan akhirnya beranak pinak. Pada tahun 2000-an, setiap minggu mulai berdatangan orang-orang dari perkotaan, termasuk para tengkulak untuk membeli kelinci di desa tersebut. Dialah, Aris Rizal, yang saat itu sebagai supplier kelinci yang berasal dari peternak-peternak di desanya.Oleh masing-masing pemilik rumah, kelinci itu pun dipelihara dan diberi makan berupa daun umbi dan hijauan lainnya pada malam hari saat kelinci-kelinci tersebut keluar untuk mencari makan. Ketika itu keberadaan kelinci-kelinci ini bukan komoditi yang diperjual belikan, kecuali kebutuhan konsumsi protein hewani bagi keluarga.
Hal ini berlangsung bertahun-tahun dan turun temurun. Hingga sekitar tahun 1990-an mulai adanya inisiatif warga untuk membuat kandang-kandang kelinci dengan cara-cara tradisional yang bukan hanya untuk keperluan konsumsi protein hewani bagi keluarga semata, melainkan untuk diperjual-belikan, bahkan menjadi mata pencaharian warga.
“Saat itu per ekor kelinci hanya dihargai Rp.2000,- per ekor, uang yang terkumpul dibelanjakan bahan pokok sembako oleh masing-masing peternak,” katanya saat dialog interaktif di radio 93 Teman FM, Jum’at (30/9/2011) petang.
Aris Rizal lebih lanjut menceritakan, pada pertengahan tahun 2009 pernah datang petugas dari Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan dan Perikanan (Keswan Disnakkan) Kabupaten Bogor ke lokasi peternakannya. Petugas itu memberikan masukan-masukan cara bertenak secara benar.
“Saya lupa nama petugas itu, tapi dia sudah banyak membuka wawasan saya soal berternak dengan benar termasuk membuat kelompok tani ternak agar kesejahteraan meningkat pula,” tambahnya.
Sejak itulah, mulai dibimbing untuk mewujudkan Kelompok Tani Ternak Kelinci di desa tersebut, yang hingga kini seluruh peternak yang ada adalah menjadi anggota aktif, yang hingga kini memperoleh binaan dari Koperasi Peternak Kelinci (KOPNAKCI).
Tak jelas siapa orang pertama yang menjuluki kampong itu sebagai “Kampung Kelinci”. “Sebab, kebanyakan orang dari perkotaan yang datang menyebutnya kampung kelinci, bukan menyebut kampung Budi Asih,” kenangnya.
Masih Hadapi Kendala
Sembilan puluh persen warga di Kampung Budi Asih Desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor telah sepakat untuk merubah paradigma jual beli anak kelinci menjadi budi daya ternak daging kelinci.
Hal ini terungkap dari seorang peternak, yang juga Ketua Kelompok Tani Ternak Kelinci Budi Asih, Aris Rizal. Setelah puluhan tahun lamanya sebagian besar peternak setempat hanya mengandalkan cara-cara tradisional yang sudah turun temurun.
Lokasi geografis yang mendukung dan warisan turun temurun itulah yang menjadikan Kampung ini sebagian besar bermatapencaharian sebagai peternak kelinci, disamping sumber bahan pakan tersedia melimpah. Maka tak heran bila kampung itu dijuluki “Kampung Kelinci”.
“Berternak kelinci memang sangat cocok dikembangkan di kampung kami. Apalagi lahan pertaniannya masih cukup luas sehingga untuk mencari sumber bahan pakan hijau tidak terlalu sulit,” kata Aris Rizal.
Menurutnya, beternak kelinci tidak terlalu sulit asalkan bisa secara rutin dapat menyediakan pakan serta membuatkan kandang yang nyaman bagi hewan ternak itu. “Kalau belum biasa memelihara, memang akan ada anak kelinci yang mati. Namun kalau sudah menggeluti secara benar maka peningkatan jumlah kelinci akan pesat,” ujarnya.
Dia mengatakan, di desanya banyak warga yang memiliki usaha keluarga berupa ternak kelinci dan rata-rata setiap rumah tangga memiliki puluhan ekor kelinci. “Meski belum memenuhi target 100 ekor per bulan, namun kami akan berupaya mencapainya untuk memenuhi permintaan-permintaan,” pungkasnya.
Hal senada dikatakan Suminta Riyahya, Ketua Kelompok Tani Ternak Kelinci Wahana Taruna Karya (Watak) di desa yang sama.Dia pun mengungkapkan kendala yang dihadapi para peternak kelinci ialah modal dan bibit kelinci yang unggul, serta sumber pakan ternak disaat musim hujan tiba.
“Kelinci banyak yang mati dimusim hujan lantaran sumber pakannya tidak cocok yang dapat mengakibatkan penyakit kembung atau buang air cair pada kelinci, sehingga kebanyakan warga menjual ternaknya, lalu membeli bibit lagi setelah musim hujan usai, dan begitu seterusnya,” ungkapnya.
Para peternak di desanya memelihara kelinci hanya berskala kecil meskipun dapat dikatakan sebagai matapencaharian keluarga, apalagi kelinci dapat berkembang biak hingga enam bulan, sedangkan permintaannya membutuhkan waktu enam bulan sekali.
Binaan Koperasi
Ketua KOPNAKCI, Wahyu Darsono mengatakan pencanangan Kampung Kelinci di desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor ini didasari oleh potensi wilayah tersebut yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai peternak kelinci.
“Tentunya pencanangan itu bertujuan mempromosikan potensi dan peluang usaha ternak kelinci sebagai penyedia daging guna pemenuhan protein hewani bagi keluarga,” kata Wahyu Darsono.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh adanya program swasebada daging nasional yang pada dasarnya adalah kegiatan peningkatan populasi ternak dan pemenuhan kebutuhan protein hewani secara mandiri dengan mengurangi ketergantungan impor.
“Sehingga di perlukan diversifikasi penyediaan sumber protein hewani selain dari ternak besar maupun unggas. Kelinci merupakan ternak alternatif yang mempunyai peluang sebagai penyedia sumber protein hewani yang sehat dan berkualitas,” imbuh pria berkacamata ini.
Tentang KOPNAKCI yang berdiri secara resmi tanggal 17 Mei 2011 dan dibentuk dengan dasar pertimbangan adanya komoditas ternak kelinci saat ini sudah diandalkan sebagai substitusi penghasil protein hewani (daging) dalam peningkatan kualitas SDM masyarakat Indonesia, dan sudah menjadi perhatian dan dicanangkan pemerintah dalam program pengembangan dan realisasinya.
“Oleh karenanya, ntuk mencapai skala usaha ekonomis dan kapasitas produksi yang besar, maka dipertlukan wadah sebagai payung bersama dalam menjalankan kegiatan usaha ternak kelinci, pusat informasi, akses pemasaran dan pembinaan/pemberdayaan kelembagaan usaha tani ternak kelinci,” jelas ketua KOPNAKCI ini.
Lebih lanjut diterangkan, koperasi merupakan wadah yang tepat, selain sedang digalakan gerakan sadar koperasi berbasis komoditas (one village, one product) oleh pemerintah, kelembagaan koperasi juga sesuai dengan prinsip dan orientasi pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Selain itu, perintis pembentukan KOPNAKCI adalah para SMD Tahun 2010 komoditas kelinci diwilayah Bogor dan beberapa petani peternak kelinci lainnya. Koperasi yang dibentuk diharapkan akan menjadi wadh integrasi usaha ternak kelinci secara komprehensif, sehingga mampu mendukung daya saing dalam skala ekonomis yang sesuai dengan kondisi dan situasi pasar serta relevan dengan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.